Menurut *Dra. Agustine Sukarlan Basri M.Si, *psikolog* *dari Lembaga Psikologi Terapan UI, dalam hal keinginan untuk mendisiplinkan anak,sebetulnya orangtua zaman dulu dan zaman sekarang relatif sama.
Namun karena pengalaman hidup yang dialami, kakek-nenek menjadi tidak tega kepada cucunya. Misalnya ketika melihat cucunya seperti tidak mempunyai waktu bermain, karena sibuk les ini dan itu,” ujar Agustine yang akrab dengan panggilan Titin itu.
Pada dasarnya pola asuh itu sifatnya prinsipil, jadi sebenarnya tidak ada pola asuh yang salah, sebab tidak ada orangtua yang ingin menjerumuskan anaknya. Hanya saja cara mengasuhnya itu yang terkadang salah. Ketika bayi baru lahir, kakek-nenek memang menjadi salah satu sumber bantuan, dukungan, dan dorongan. Mereka selalu tahu apa yang harus dilakukan jika cucunya tidak enak badan, tidak mau makan, tidak bersendawa, menangis,dan sebagainya.
“Banyak wanita yang bertanya pada ibu atau mertuanya, sebelum ia menanyakan kepada suami mengenai seputar masalah bayi. Namun begitu masuk ke masalah pengasuhan anak, tampaknya pengasuhan yang diterapkan orangtuanya atau mertuanya menjadi salah, sehingga timbul ketidaksetujuan dengan mereka,” papar Titin.
Sebetulnya kakek-nenek yang terlalu banyak ikut campur dalam pengasuhan anak tidak akan menjadi masalah jika orangtua sepaham dengan kakek-nenek tentang bagaimana cara mengasuh anak. Namun justru karena berbeda, timbul berbagai masalah, bahkan beberapa pasangan sering bertengkar karena beda paham tentang seberapa jauh orangtua mereka (kakek-nenek) bisa mengasuh anak.
Sebagian besar terjadi karena mereka kurang komunikasi mengenai cara mendidik yang ‘baru’ sesuai dengan zaman untuk anak. “Biasanya kakek-nenek terlalu memanjakan si anak. Aturan yang sudah diterapkan oleh orangtua kepada anak-anaknya justru dilanggar kakek-neneknya. Hal ini dapat menimbulkan perselisihan pada beberapa pasangan,” ujar Titin.
Ketika kakek-nenek ikut campur
Kultur di Indonesia, kakek-nenek cenderung ingin menyenangkan cucunya. Maka ketika orangtua berusaha menerapkan disiplin kepada anak-anaknya, kerap dilihat oleh kakek-nenek sebagai batasan yang tidak menyenangkan cucu-cucunya. Perbedaan semacam ini hendaknya dapat dikompromikan melalui diskusi antara anak dengan orangtua, yang kini sudah sama-sama menjadi orangtua. Dengan demikian, tidak akan ada lagi anggapan bahwa yang tua lebih berpengalaman dan pandai dalam hal mengasuh anak.
Kesempatan mengasuh cucu oleh kakek-nenek (grandparenting), sering pula dipandang sebagai ‘kesempatan kedua untuk menjadi orangtua’. Sehingga tidak heran banyak kakek-nenek yang ingin terlibat dalam pengasuhan cucu mereka. Tidak jarang pula kakek-nenek ingin terlibat dalam pengasuhan cucu-cucunya dengan alasan untuk ‘menebus dosa’ atas kesalahan atau ketidakmampuan ketika membesarkan anak-anaknya.
Adanya perbedaan pola asuh ini baik langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada kemandirian anak. Misalnya anak akan menjadi kurang mandiri dalam menyelesaikan tugas-tugas hariannya seperti makan, mandi, atau kurang mandiri dalam menyelesaikan masalah. Namun yang menjadi masalah adalah ketika nenek tidak mengizinkan si cucu makan sendiri, alasannya anak masih kecil, akan berlepotan, berantakan, dan sebagainya. Padahal orangtua tahu bahwa untuk memandirikan anak, anak harus diberi kesempatan untuk makan sendiri sejak kecil. Tetapi campur tangan kakek-nenek dalam pengasuhan cucu, hendaknya tak hanya dilihat dari sisi jeleknya saja. “Ada juga sisi positifnya. Misalnyakakek-nenek dapat berbagi ilmu dan pengalaman dalam mengasuh anak, sehingga anak mendapatkan pengasuhan yang lebih baik seperti pengaturan menu makanan,atau si anak tidak melulu bergaul dengan pengasuhnya,” ungkap Sri Ratna Sulistiantini, Psi. dari Jagadnita Consulting.
Sisi positif lainnya,biasanya kakek-nenek sering mengajarkan bekal keterampilan kepada si anak. Misalnya menanam pohon, bercerita tentang silsilah keluarga, pengalamanh idup mereka, dan lain sebagainya. Di pihak lain, si anak pun bisa belajar dari segala pengalaman yang sudah dialami oleh kakek-neneknya. Namun Sri menambahkan, jika sikap memanjakan cucu yang ditunjukkan kakek-nenek ini terus dilakukan akan menyebabkan penerapan disiplin yang sudah diterapkan menjadi tidak konsisten. Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan si anak memiliki kecenderungan negatif. Bisa jadi si anak akan membantah perintah orangtua dengan berlindung pada kakek dan neneknya, sehingga memperburuk hubungan orangtua-anak.
Selain itu kemampuan anak dalam mengekspresikan emosinya juga terkadang menjadi kurang tepat, misalnya mudah merengek, merajuk, serta kurang percaya diri. “Nenek atau kakek biasanya kurang tegas dan kurang dapat menolak permintaan si anak atau cucunya. Kalau mereka terlalu memanjakan si anak maka pola asuh yang sudah ada akan membuat si anak bingung.
Oleh karena itu orangtua seharusnya memiliki keberanian untuk berbicara dengan kakek-nenek(orangtua atau mertua) mengenai permasalahan pola asuh yang tepat,” ujar Sri.*
Kompromi dan komunikasi
Tidak ada yang lebih baik antara tinggal berdekatan orangtua, atau tinggal berjauhan, semuanya ada sisi negatif dan positifnya. Jika pasangan tinggal berjauhan campur tangan kakek-nenek terhadap pola asuh anak memang tidak sedemikian intens. Namun akan sulit melarangnya, jika mereka tinggal berdekatan atau bahkan serumah dengan orangtua atau mertua. Titin memaparkan, jika kakek-nenek terlalu jauh mengintervensi si cucu karena mereka sering tidak diberi peran yang jelas dalam mengasuh anak-anak.“Oleh karena itu pada saat membahas mengenai pola asuh anak, sebaiknya kakek-nenek juga diajak berembug dan berdiskusi serta dilakukan kesepakatan yang baik antara mereka.
Misalnya kakek atau nenek bertugas untuk mengajarkan hal-hal yang religius, mengantar jemput sekolah, mengawasi makan, tetapi untuk urusan mengerjakan PR tidak boleh turut campur. Dengan begitu mereka merasa dilibatkan dalam mengasuh cucunya,” papar Titin.Menurut Sri, pertama-tama perlu diberikan pengertian mengenai tahapan perkembangan anak kepada mereka. Sebagai pasangan yang sudah mempunyai pola asuh untuk anak-anaknya, mereka perlu diingatkan kembali akan tahap perkembangan anak sesuai usianya. “Hal ini penting agar kakek-nenek juga mengerti apa yang harus mereka lakukan. Hal-hal yang dapat dikompromikan misalnya penerapan disiplin yang bertujuan untuk melatih kemandirian. Kakek-nenek dalam hal ini bertugas untuk mengawasi saja,” lanjut Sri.
Namun dari beberapa hal yang dikomunikasikan dan dikompromikan, si anak juga perlu diajak berdialog dan berdiskusi. Biasanya mereka yang berusia SD sudah dapat diajak bicara. Misalnya gambarkan risiko yang akan ia dapatkan ketika ia tidak mengerjakan PR dan terus bermain.
“Bagi mereka yang masih kecil (balita), orangtua dapat memberikan contoh misalnya ajak anak untuk makan bersama di meja makan dalam suasana yang lebih menyenangkan. Beri penghargaan positif bila anak dapat melakukannya walaupun masih belum sempurna,” tutur Sri.
Sebagai perantara dua generasi, orangtua harus berperan aktif untuk mengajarkan hubungan interaktif antara anak-anak dengan kakek-neneknya. Berikan waktu khusus kepada anak-anak untuk bersama-sama dengan kakek-neneknya, dengan begitu kakek-nenek selalu merasa dilibatkan dalam mengasuh cucunya. Saat-saat seperti ini sebaiknya digunakan orangtua untuk membangun hubungan yang intim dalam keluarga.
Setidaknya keintiman hubungan antara tiga generasi ini, bisa memberi kesan yang baik yang selalu diingat anak-anak ketika sudah dewasa kelak. Bisa jadi pola hubungan kakek-nenek dengan cucu di masa depan tidak akan seperti saat ini. Seiring berubahnya waktu, kehangatan dan keintiman yang ditunjukkan anak-anak kepada kakek dan nenek sekarang ini, kelak tak akan bisa dirasakan kakek-nenek di masa yang akan datang.
Tips berbagi pola asuh kepada kakek-nenek tanpa menimbulkan perselisihan:
1. Ajak kakek-nenek berdiskusi mengenai pola asuh yang akan diterapkan dan tujuan pendidikan anak, misalnya kemandirian bagi si anak.
2. Setiap pasangan harus siap menjadikan sesuatu menjadi lebih baik, untuk itu harus ada pengorbanan dan keberanian berbicara kepada orang tua atau mertua. Tentu saja cara penyampaian pola asuh ini harus dengan baik-baik danrendah hati. Gunakan kata ‘mohon pertolongan’, karena secara pikologis maknanya kuat sekali.
3. Berikan paparan aturan dasar yang akan diterapkan pada seluruh anggota keluarga. Misalnya larangan menonton televisi selepas Magrib. Aturan tersebut harus dipatuhi oleh setiap anggota keluarga termasuk kakek-nenek.
4. Hindari membentak atau mendebat kakek-nenek. Kalaupun ada perselisihan, hendaknya dibicarakan tidak di dekat anak, karena anak merupakan pengamatyang sangat baik.
5. Untuk menghindari biang-biang perselisihan, sebaiknya membiasakan pertemuan yang teratur, sekedar menjaga keakraban. Misalnya makan malam bersama keluar.
6. Setiap pasangan hendaknya menyadari bahwa kakek-nenek adalah ”pelaku” sejarah keluarga yang dapat mewariskan nilai-nilai keluarga kepada para cucunya. Seperti menceritakan kisah-kisah masa lalu, menanamkan kebanggaan keluarga, dan meningkatkan pengetahuan anak tentang kebudayaan.
7. Dalam menghadapi kakek-nenek, hendaknya menyadari bahwa mereka adalah model bagi sang anak. Oleh karena itu bila ingin perlakuan yang baik dari anak-anak di masa tua, hendaknya memberikan mereka contoh yang baik.
8. Walapun ada perbedaan cara pengasuhan, tetap berikan waktu kepada kakek-nenek untuk mengasuh cucu-cucunya. Hal ini bukan saja hanya memberikan kebahagian bagi mereka yang sudah memasuki usia senja, namun juga bermanfaat bagi anak-anak.
0 komentar:
Posting Komentar