Dunia anak memang dunia bermain. Ragam permainan tidak saja menyenangkan bagi anak, tapi juga menjadi ajang belajar yang dapat merangsang perkembangan kecerdasannya, baik secara intelektual, emosional maupun sosialnya. Dalam menjalani dunianya, si kecil kerap dihadapkan pada pertengkaran dengan teman sebayanya. Hal ini sering membuat orang tua khawatir untuk melepas anaknya bermain di luar. Padahal, bertengkar bisa membuatnya belajar. Benarkah?
Bertengkar itu wajar dalam setiap hubungan antarmanusia, termasuk anak kecil. Bertengkar berarti berbeda pendapat, berbeda persepsi tentang sesuatu yang akan memperkaya pemahamannya terhadap karakteristik individual dan sosial, serta menstimulasi pola pikirnya. Setiap anak memiliki keunikan sendiri-sendiri, tapi memiliki persepsi yang cenderung sama tentang dunianya. Persepsi hidup anak kecil dengan orang dewasa tentu saja berbeda, tapi seringkali kita sebagai orang dewasa yang memaksakan cara pandang kita, menuntut pengertian mereka. Memberikan yang terbaik untuk si kecil, bukan sekedar memberikan sejumlah fasilitas yang lengkap atau aturan yang harus selalu benar. Memahami keinginan dan kebutuhannya secara bijaksana, memberikannya ruang untuk berekspresi dalam dunianya, serta melayani keingintahuannya merupakan wujud kasih sayang yang membebaskan, sehingga masa-masa emas dalam hidupnya tidak ada yang terlewati. Sikap overprotective akan membuatnya tertekan, terkekang dalam ketidakstabilan emosi, serta mental soaialnya. Anak kecil tetaplah anak kecil yang ingin selalu mencoba apa yang ada di dunianya, dunia anak.
Coba kita perhatikan tayangan iklan sebuah produk sabun cuci. Di situ ada sebuah pernyataan “Dengan berkotor-kotor, ia belajar menyayangi ibunya.” Walaupun kepentingannya untuk tujuan komersial, tapi pernyataan itu mengandung sebuah filosofi yang dalam. Tidak semua yang kelihatannya kotor, menjijikkan atau bau tidak ada manfaatnya. Justru dengan kemampuan kita memahaminya, menggali potensinya akan membuatnya berguna, dan berharga. Demikian pula dengan pertengkaran, tidak selalu berakibat buruk bagi pelakunya. Bermain, berebut mainan, saling membanggakan apa yang dimiliki, berslisih, bertengkar, menangis dan tertawa riang merupakan ciri yang wajar (normal) dalam hubungan sosial anak kecil. Dengan bermain, ia belajar mengatur strategi, belajar berbagi dan saling bertukar pengalaman dengan teman sebayanya. Bertengkar dengan teman bermainnya membuatnya belajar menghadapi masalah, belajar menghadapi dan menyikapi perbedaan, belajar mempertahankan pendapat, belajar bernegosiasi, belajar mempertahankan dan membela diri bahkan belajar menyelesaikan masalahnya, tentu sesuai dengan kapasitasnya sebagai anak-anak. Mungkin dapat dikatakan “Dengan bertengkar, ia belajar menghadapi dan menyelesaikan masalahnya.”
Sebuah pertanyaan kemudian muncul di benak kita. Apakah setiap pertengkaran baik untuk perkembangan si kecil, lalu bagaimana kalau sampai ia terluka fisiknya atau menjadi takut bermain karena selalu bertengkar bahkan berkelahi? Di sinilah pentingnya kecerdasan orang tua dalam memilah dan memilih lingkungan sosial yang sehat sebagai ajang bermain dan belajar si kecil. Pertengkaran yang sudah mengarah kepada permusuhan, berlanjut jadi perkelahian sengit dan penuh kekerasan tidak baik untuk si kecil. Pertengkaran antara orang dewasa pun tidak pantas dilihat dan didengar anak kecil karena kecenderungan umum mereka adalah meniru hal-hal yang dilihat dan didengarnya. Ini akan berpengaruh terhadap kebiasaannya bersikap, berbicara dan melakukan sebuah tindakan. Frekuensi pertengkaran yang terlalu sering patut diwaspadai (diawasi dan menjadi perhatian) orang tua. Ini dapat mengganggu perkembangan psikologisnya karena akan menumbuhkan imej dan pencitraan yang kurang baik di benaknya mengenai lingkungan bermainnya. Pola asuh dan penerapan pendidikan keluarga yang baik merupakan filter terbaik untuk menangkal efek negatif pengaruh lingkungan.
Pertanyaan lain pun muncul. Bagaimana kalau kita terpaksa harus tinggal atau berhadapan dengan lingkungan yang kurang sehat? Kembali lagi kepada peran orang tua. Peran aktif orang tua dalam berkomunikasi, memberikan pengertian, menerapkan nilai-nilai moral dan membina akhlak sejak dini merupakan filter terbaik. Dalam hal ini, orang tua harus mampu menjadi partner, motivator sekaligus protector dan mengawasi perkembangan si kecil.Sebagai partner, orang tua harus pandai menjaga intensitas dan kualitas komunikasi dengan anak agar ia merasa nyaman dan diperhatikan. Sebagai motivator, orang tua senantiasa memberikan dukungan terhadap kegiatan si kecil, menumbuhkan rasa percaya dirinya, mendidik dan meyakinkannya untuk berani menghadapi lingkungan bermainnya, serta mengajarkannya cara-cara sederhana dalam menangani masalah. Sebagai protector,orang tua selalu siap membantu permasalahan si kecil (dengan catatan: tidak membuatnya cengeng, selalu “mengadu” dan lari dari masalah), serta memberikan pengertian mengenai dampak negatif sebuah pertengkaran atau perkelahian terhadap fisik dan perasaannya.Mengawasi bukan berarti harus terus mendampingi anak ketika bermain di luar, melainkan dengan menerapkan kedisiplinan. Membuat skala waktu bermain yang fleksibel dan variatif dapat membuatnya belajar menghargai dan menepati waktu, tetapi tidak membuatnya merasa bosan dan monoton. Belajar disiplin secara sederhana ini bisa membuatnya terbiasa mengelola waktu nantinya. Semua peran ini bisa membuatnya percaya diri untuk bersosialisasi dan percaya terhadap keluarganya. Ia akan merasa bahwa keluarga adalah tempat terbaik untuknya, dan akan terus terbawa sampai ia dewasa. Keluarga yang harmonis dan pengalaman masa kecil yang bahagia turut menentukan kesuksesan seorang anak di kemudian hari.
Terlepas dari peran faktor genetis, pola asuh dan pendidikan dalam keluarga sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan sifat dan karakter seorang anak. Sebagaimana ajaran Islam mengemukakan “Setiap anak terlahir dalam keadaan suci, tergantung kepada ibu bapaknya apakah akan menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi.”
Kesimpulannya, bertengkar tidak selalu menimbulkan dampak yang menyeramkan bagi si kecil. Bertengkar dengan teman sebaya justru dapat membangun persepsi si kecil mengenai dunianya, turut membentuk karakternya, serta membuatnya belajar menghadapi masalah dan perbedaan. Dalam prosesnya, pola asuh dan pendidikan dalam keluarga harus berjalan simultan dan seimbang. Pola asuh dan didikan dalam keluarga akan menunjukkan siapa dia, sikap apa yang ia bawa ke dalam lingkungannya, serta sebagai filter dalam menghadapi pengaruh buruk lingkungan. Lingkungan sosial merupakan wahana belajar untuk mengembangkan karakter tersebut, menjadi media evaluasi dan tantangan baginya sekaligus memberikan warna bagi perkembangan kepribadiannya. So, bermain, bertengkar bisa membuat si kecil belajar.
Semoga anak-anak kita tidak merasa menjadi anak yang dibesarkan dengan kebencian, hingga ia tumbuh menjadi pribadi yang membenci. Sebaliknya, semoga kita menjadi orang tua yang bisa melakukan yang terbaik untuk kebahagiaan anak-anak kita, dan insya Allah di kemudian hari, anak yang akan membahagiakan orang tua karena anak yang dibesarkan dengan cinta akan tumbuh menjadi pribadi yang mencintai.
0 komentar:
Posting Komentar