QUOTE OF THE DAY

~"~ Tak perlu mencari alasan ketika berbuat salah. Tetapi akui, perbaiki, dan upayakan untuk tidak mengulangi kesalahan itu lagi~"~

4 Maret 2012

Demam Bukan Musuh yang Harus Diperangi

Demam pada anak sering menimbulkan fobia tersendiri bagi banyak orang tua. Keyakinan untuk segera menurunkan panas ketika anak demam sudah melekat erat di benak orangtua. Demam diidentikkan dengan penyakit, sehingga saat demam berhasil diturunkan, orangtua merasa lega karena menganggap penyakit akan segera pergi bersama turunnya panas badan.
Keinginan untuk menenangkan kegelisahan orang tua inilah yang terkadang “memaksa” dokter memberikan obat penurun panas walaupun sebenarnya mungkin tidak perlu. Selain itu tak dapat dipungkiri bahwa dokter yang gemar melakukan pengobatan “ala koki” (meminjam istilah Dr. Paul Zakaria da Gomez- ahli imunologi) masih kerap dijumpai. Seperti halnya makanan yang kurang manis ditambah gula, kurang asin ditambah garam, begitu pula pengobatan “ala koki” dilakukan. 

Apa pun penyebabnya, penderita panas badan langsung dicekoki obat penurun panas tanpa memastikannya terlebih dulu.Apakah memberikan obat penurun panas ketika anak demam merupakan suatu hal yang salah? Bukankah bila demam tidak diturunkan akan menimbulkan kerusakan pada otak? Bukankah pemberian obat penurun panas menyebabkan anak terhindar dari kejang demam (stuip), membuat anak merasa lebih nyaman dan meningkatkan nafsu makan? Hal-hal seperti itulah yang sering terdengar mengenai demam dan banyak didengung-dengungkan di berbagai media iklan. Alhasil demam semakin menjadi momok yang menakutkan bagi orang tua, dan memperkuat keyakinan orangtua untuk buru-buru menurunkan panas ketika anak demam.
Namun sesungguhnya para ahli menyatakan bahwa pendapat-pendapat tersebut hanyalah mitos belaka karena tidak semua dapat dibuktikan kebenarannya. Keberadaan demam justru berperan penting dalam proses penyembuhan penyakit. Bahkan pemberian obat penurun panas ketika anak demam (baik aspirin, paracetamol/acetaminophen maupun ibuprofen) terbukti lebih banyak menimbulkan dampak negatif ketimbang positif.
Sebelum mengetahui lebih lanjut dampak-dampak tersebut, harus dipahami terlebih dahulu bahwa terjadinya demam ketika seorang anak mengalami infeksi bukanlah suatu kesalahan. Tuhan memang sudah memberikan demam sebagai reaksi alamiah tubuh terhadap adanya infeksi. Sehingga ketika seorang anak mengalami infeksi, keberadaan demam semestinya disyukuri, bukan ditakuti atau diperangi karena hal ini merupakan pertanda bahwa mekanisme pertahanan tubuh sedang bekerja untuk melawan penyakit. Demam memang tidak hanya dapat disebabkan oleh infeksi, bisa saja terjadi karena pencetus lain seperti reaksi transfusi, tumor, imunisasi, dehidrasi , dan lain sebagainya. Tetapi pada anak umumnya demam terjadi karena suatu infeksi kuman, entah itu virus maupun bakteri.
Mengapa reaksi alamiah tubuh ini harus disyukuri? Berbagai literatur menyebutkan bahwa komponen-komponen sistem kekebalan tubuh, seperti sel darah putih (leucocyt) dan lymphocyt (salah satu jenis sel darah) akan bekerja lebih baik melawan kuman dalam keadaan suhu tubuh yang meningkat ketimbang suhu tubuh normal. Artinya, menurunkan suhu tubuh ketika anak demam justru akan melemahkan sistem kekebalan tubuhnya.
Saat demam terjadi, pergerakan dan aktivitas sel-sel darah putih meningkat, serta terjadinya perubahan bentuk lymphocyt dapat membunuh bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh. Selain itu, jumlah interferon, yang merupakan salah satu substansi antivirus dan antikanker dalam darah, juga akan meningkat dengan adanya demam. Teori tersebut juga didukung oleh sebuah penelitian di laboratorium, pada binatang yang sengaja diinfeksi oleh suatu penyakit. Ternyata dengan meningkatnya suhu tubuh binatang-binatang yang terinfeksi itu, angka kelangsungan hidup mereka semakin meningkat. Sebaliknya dengan menurunkan suhu tubuh ketika terjadi infeksi, malah meningkatkan angka kematian binatang-binatang tersebut.
Hylary Buttler, seorang peneliti dari New Zealand telah mengumpulkan kutipan-kutipan dari berbagai literatur kedokteran yang membuktikan bahwa demam memang diperlukan untuk meningkatkan kekebalan tubuh ketika terjadi infeksi. Sebaliknya pemberian obat penurun panas seperti paracetamol/acetaminophen, aspirin dan ibuprofen malah memberikan pengaruh negatif.
Dalam salah satu kutipan itu disebutkan bahwa pemberian obat penurun panas untuk menurunkan demam akan meningkatkan angka kematian dan kesakitan selama infeksi. Pemberian acetaminophen dinyatakan juga dapat menginduksi terjadinya pneumonia. Selain itu semakin sering memberikan obat penurun panas pada anak dengan penyakit infeksi, ternyata malah akan memperparah dan memperpanjang masa sakitnya. Fakta lain yang lebih penting menginformasikan bahwa obat penurun panas dapat memberikan gejala palsu. Penderita demam yang disangka sedang dalam masa penyembuhan karena panasnya sudah turun, ternyata luput dari observasi dan mengakibatkan penyakitnya berlanjut semakin buruk akibat pemberian obat penurun panas.
Walaupun belum dinyatakan kebenarannya, namun Dr. Torres, seorang peneliti senior dari Biomedical Utah State University, memberikan teori baru mengenai penyebab potensial merebaknya kasus autism belakangan ini. Demam yang dihambat dengan pemberian obat penurun panas pada ibu hamil dan anak-anak kecil, dikatakan terlibat sebagai biang kerok terjadinya autism dan neurodevelopmental disorders. Pada akhirnya kerugian pemberian obat penurun panas ini tentu saja berhubungan dengan biaya pengobatan yang seharusnya tidak perlu dan dapat dimanfaatkan untuk keperluan yang lebih penting.
Lalu bagaimanakah dengan kebenaran mitos-mitos yang sudah mendarah daging diyakini para orang tua? Dalam bukunya “How To Raise A Healthy Child in Spite of Your Doctor” Dr. Robert Mendelsohn yang juga seorang dokter spesialis anak mengatakan, demam tinggi bukanlah penyebab kejang demam. Kejang demam muncul ketika suhu badan meningkat dengan kecepatan yang sangat tinggi dan hal ini umumnya jarang terjadi. Hanya 4 % anak-anak dengan demam tinggi yang demamnya berhubungan dengan kejang. Tidak ditemukan pula bukti-bukti yang menyatakan bahwa setelah kejang demam mereka kemudian mengalami efek serius. Anggapan bahwa pemberian obat penurun panas akan mengurangi kejadian kejang demam pun tidak didasari oleh bukti yang nyata. Karena itu memberikan obat penurun panas kepada semua anak yang mengalami demam, hanya akibat 4% kejadian kejang demam, bukanlah hal yang rasional.
Selain itu demam yang terjadi karena infeksi bakteri atau virus, pada umumnya tidak akan menyebabkan kerusakan otak atau kerusakan fisik permanen seperti anggapan yang telah dianut selama ini. Demam adalah hal yang biasa terjadi pada anak dan bukan merupakan suatu indikasi penyakit serius kecuali bila disertai dengan perubahan penampilan, perubahan tingkah laku atau gejala-gejala tambahan seperti kesulitan bernafas, kaku kuduk atau kehilangan kesadaran. Hanya demam di atas 42,2 derajat Celcius yang telah diketahui dapat menyebabkan kerusakan otak.
Namun tentu saja terdapat perkecualian, yaitu bila demam terjadi pada bayi yang baru lahir. Demam yang terjadi pada bayi di minggu-minggu pertama kehidupannya harus mendapatkan perhatian serius, karena kemungkinan besar infeksi didapat dari proses persalinan, ataupun penyebab lain.
Asumsi yang juga telah sangat diyakini orang tua adalah pernyataan bahwa obat penurun panas akan menyebabkan anak merasa lebih baik, lebih aktif dan meningkatkan nafsu makan. Padahal penelitian membuktikan bahwa tidak ada perbedaan efek yang tampak ketika penderita demam diberi obat penurun panas maupun placebo (sugesti). Jadi tidak dapat dibedakan apakah keadaan lebih baik yang dirasakan penderita sebetulnya merupakan efek placebo atau efek obat. Tapi bila obat penurun panas dipakai sebagai placebo, artinya placebo yang digunakan merupakan placebo yang sangat berbahaya.
Dari keterangan di atas jelas lah sudah bahwa demam bukanlah musuh yang harus diperangi. Karena itu penggunaan obat penurun panas sebaiknya betul-betul diberikan secara rasional. Beberapa negara bahkan membuat peraturan agar dokter-dokter mereka memberikan obat penurun panas pada pasien, hanya ketika demamnya mencapai 40,5 derajat C atau lebih.
Mengingat pengaruh emosional yang telah begitu mendalam di benak orang tua, merubah perilaku ini tentu menjadi pekerjaan yang teramat sulit. Namun dengan merubah paradigma tentang demam, dan menyadari dampak negatif pemberian obat penurun panas pada anak, diharapkan demam tidak lagi menjadi “monster” yang menyeramkan bagi orang tua. Orang tua tidak lagi perlu buru-buru membeli obat penurun panas di warung dekat rumah, ataupun “memaksa” dokter untuk segera menurunkan demam anak.
Selain itu akan sangat bijaksana pula, bila dokter tidak begitu saja dengan mudah memberikan obat penurun panas tanpa indikasi yang betul-betul perlu. Menjelaskan pada pasien mengenai pentingnya keberadaan demam dan dampak negatif menurunkan panas badan ketika anak demam, merupakan tindakan yang lebih rasional. Bila hal ini dilakukan, paling tidak ancaman pengaruh buruk akibat rutinnya penggunaan obat penurun panas terhadap kesehatan anak-anak dikemudian hari, dapat dikurangi.***
Pikiran Rakyat

1 komentar:

  1. Bagus bgt artikelnya..
    Anak sy 5 bln sdg demam.sy ragu antara memberinya obat penurun panas atau tidak..sy pun tdk setuju mengenai pemberian obat pd anak bila demam jika tdk ada indikasi penyakit serius..

    BalasHapus

Related Post

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...