Jam sudah menunjukkan angka sebelas. Ketika aku duduk merebahkan diri di ruang tengah. Tentu saja istri dan anakku, Aisyah sudah tidur lelap. Tapi kenapa pintu kamar Aisyah masih terbuka? Aku tertegun saat berdiri didepan pintu kamar Aisyah. Aisyah tertidur di meja belajarnya. Ditangan kanannya masih memegang pensil. Sepertinya ia menulis sesuatu dibuku tulisnya ditemeni secangkir kopi.
“Tumben anak ini minum kopi”. Pikir ku.
Ku angkat dia tempat tidur. Kubereskan meja belajarnya yang berantakan. Namun sebelum aku menutup buku tulisnya. Aku ingin melihat apa yang ditulis Aisyah. Aku tertegun sejenak saat membaca tulisan-tulisannya. Ternyata semuanya cerita tentang diriku. Sampai akhirnya aku membaca 3 lembar terakhir yang sangat menyentuh hatiku.
Di lembaran pertama ia menulis, “Hari ini ayah tidak jadi menemaniku ke toko buku. Mungkin ayah tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Aku mengerti dengan kesibukanmu, Ayah…”
Aku jadi ingat beberapa pekan lalu, Aisyah mengajakku ke toko buku. Aku ingat selalu gaya bicaranya yang polos.
“Ayah nanti sore ada kegiatan nggak sih,” sapa Aisyah saat ku ingin pergi bekerja.
“Ada apa sayang,” jawabku.
“Ayah mau nggak menemani Aisyah ke toko buku?”
“Kalau ayah nggak sibuk nanti sore akan ayah usahakan menemani, kamu ya…”
“Terimakasih ayah.” Ucap Aisyah dengan wajah yang sangat gembira sambil mencium pipiku.
Aku tersenyum melihat tingkahnya yang lucu dan menggemaskan.
Di lembaran kedua ia menulis, “Hari ini ayah tidak jadi lagi menemaniku ke toko kaset. Padahal aku ingin sekali mendengarkan lagunya Sulis dan memutarnya dikamarku saat aku sedang sendiri agar aku tidak merasa sunyi. Tapi aku sebenarnya mau ngajak ibu tapi aku ingin sekali ditemani ayah. Tapi lagi-lagi ayah sibuk…”
Aku kembali teringat kalau Aisyah pernah mengajakku menemaninya membeli kaset.
Kalau dia ingin mengajakku, dia selalu bicara seperti ini, “Ayah nanti sore sibuk nggak atau ayah nanti sore ada kegiatan?”
Bahasa yang sopan sekali menurutku. Sehingga aku tidak bisa mengatakan ‘TIDAK’ walaupun aku terkadang aku tidak bisa memenuhi keinginannya.
Di lembaran terakhir dia menulis, ”Hari ini dan untuk kesekian kalinya Ayah tidak bisa menemaniku. Tadi aku mengajak ayah ke pasar malam. Padahal inikan hari terakhir ada pasar malam dikomplek ku?! Aku udah janji sama pak Ibut kalau aku akan membeli boneka yang ditawarkan tadi sore saat pak Ibut lewat depan rumahku. Aku katakAn pada pak Ibut kalau aku akan pergi bersama Ayah ke pasar malam dan aku akan membeli boneka pak Ibut. Karena ayah masih belum pulang pasti pak Ibut sudah menjualnya. Pak Ibut maafkan Aisyah yah! Besok pagi akan Aisyah tunggu didepan rumah dan meminta pada pak Ibut kalau Aisyah tidak bisa pergi kepasar malam. Kali ini Aisyah akan duluan meminta maaf, biasanyakan pak Ibut yang selalu minta maaf kalau sudah melihatku didepan rumah menanti majalah yang kupesan. Dia selalu bilang, ‘maaf yah Neng. Pak ibut terlambat.
Padahal menurutku pak Ibut nggak terlambat, hanya aku yang terlalu cepat menunggunya. Begitu melihatku menunggu, dia mengayuh sepedanya lebih cepat lagi. Saat kutanya, “kenapa sih pak Ibut selalu minta maaf, padahal pak Ibut kan nggak punya salah pada Aisyah,”
Iya neng, pak Ibut tidak ingin mengecewakan neng Aisyah kemarenkan sudah bilang kalau pak ibut nganterin pesanan neng Aisyah pagi-pagi sebelum neng pergi kesekolah. Coba pak Ibut kalau datangnya kesiangan pasti neng kecewa, pak Ibut nggak ingin neng, mengecewakan orang karena kekecewaan itu akan menimbulkan luka di hati. Dan susah neng untuk menyembuhkannya kecuali kita minta maaf dengan tulus pada orang yang telah kita kecewakan.
Aku jadi ingat sama ayah, ayah tidak pernah mengucapkan maaf padaku, atau mungkin karena ayah menganggapku masih kecil atau…, ah! Aku tidak mau berprasangka buruk terhadap ayah. Walaupun sebenarnya aku sangat kecewa dengan ayah tapi aku tidak ingin menyimpan kekecewaan itu didalam hati. Bahkan hatiku selalu terbuka untuk kata maaf Ayah”.
Perlahan mataku mulai berkaca-kaca. Aku menangis membaca tulisan Aisyah. Kudekati Aisyah dipembaringan sambil kupandangi wajahnya yang polos. Aisyah, anakku saying, maafkan ayah, ternyata kau punya hati emas. Aku memang tidak pernah meminta maaf pada Aisyah atas jajni-janji yang tidak pernah kupenuhi padanya. Aku selalu menganggap dia telah melupakannya begitu melihat wajahnya yang cerah di pagi hari dan selalu tersenyum. Ternyata dia masih mengingatnta dalam tulisan-tulisannya. Ah, entah sudah berapa banyah goresan rasa kecewa yang ada dihatimu andai kau tidak memaafkan ayah. Aisyah, ayah akan menunggumu sampai terbangun untuk meminta maafmu.
****************
Kisah di atas menjadi bahan renungan bagi kita semua yang barangkali sering lupa pada kata yang satu ini, yaitu “MAAF”.
Terkadang kita malu atau enggan hanya untuk sekedar mengatakan kata “maaf” dan membiarkan goresan-goresan luka yang membekas dihati. Atau mungkin kita sering beranggapan bahwa mereka akan melupakan setelah beberapa hari. Kalau seandainya kita pernah melakukan hal yang sama seperti kisah di atas, tidak ada kata terlambat untuk meminta maaf pada orang yang pernah kita kecewakan. Jangan malu untuk melakukan hal yang benar sekalipun itu anda lakukan untuk seorang bocah atau teman, karena juga memiliki hati nurani. Dan seandainya mereka masih tersenyum pada mu walaupun kita telah mengecewakan, maka kita bersyukur atas karunia itu.
Maaf, tak seharusnya memalukan tapi akan lebih memalukan bila tak mengucapkan maaf di saat kita berbuat kesalahan.
0 komentar:
Posting Komentar